Selasa, 18 Desember 2012

PORSENI ANTAR SMAN se-Kota MAKASSAR

Assalamualaikum sahabat blogger dan selamat malam
Malam banget .-.
Emang baru sekarang bisa bagi cerita lagi

Minggu ini dengan terpaksa dan penuh kesabaran,
panitia porseni SMAN3 Makassar harus bersabar dan berbesar hati
Ngapain?
Karena eh karena, harus berbagi lapangan dengan acara basket putra porseni antar sekolah yang dimana sman3 sebagai tuan rumah

Kasian bangettt :(

Dan kalian harus prihatin
Dari 16 lomba yang diajukan,
Yang di terima hanya 7 lomba yang boleh diadain
parah banget tau gak

Semua Karena?? Ah,, jawab sendirilah
Gak penting juga buat di tau. kepo banget dehh

dan hari ini, hari kedua pelaksanaan porseni antar sekolah
aku kasi beberapa foto kegiatannya ya







Buat info sma apa vs sma apa besok aja yah
ngantuk banget :3
mata gak sanggup kebuka lagi.
Bye (hoamzz)

Minggu, 09 Desember 2012

Pilketos SMAN 3 Makassar periode 2012/2013

Hai hai masyarakat blog :D
Baru bisa nulis lagi nih -_-

Pilketos SMAN 3 Makassar?? itu sudah cukup jauh beberapa minggu yang lalu
Tapi dengan sangat maaf, baru minggu ini dan hari ini baru bisa berbagi cerita mengenai acara yang sudah lama ditunggu-tunggu warga smaga (panggilan akrab sman3).

Langsung saja ya :)
Pilketos tahun ini ada tiga calon, sama seperti yang dulu
Dan berbeda ada pada ketiga kandidat dimana salah satu kandidat calon ketos kita ada yang cewek setelah 4 tahun yang lalu

Calon pertama :: dari kelas XI IPA 3, Akmal Hidayat
Ganteng gak?? Calon yang satu ini seneng banget bilang dirinya cakep :")
Tapi emang lumayan sih. hihi

Calon kedua :: dari kelas XI IPA 4, Sulaiman
Hmm,, calon yang satu ini bisa di bilang paling rajin solat, tatt banget deh sama agama
(bukan berarti aku bilang dua calon lainnya gak rajin solat loh)

Calon ketiga :: dari XI IPA 1, Nadya Eunice Sumolang
Kalo yang ini udah tau kan??
Di duta baca yang kemarin berita di post :D

Setelah melalui beberapa tahap pertanyaan dari beberapa guru dan siswa, pemilihan pun dilakukan
Dan hasil polingnya
calon pertama ::208 suara
calon kedua ::406 suara
calon ketiga ::47 suara

Sudah tau dong yang mana Ketua OSIS SMAN3 Makassar periode 2012/2013 sekarang :)

Minggu, 02 Desember 2012

Duta Baca Tingkat SMA se-Kota Makassar

Apa kabar para blogger??
Malam ini ceritanya datang dari salah satu siswi berprestasi di SMAN 3 makassar

Duta baca? Hubungannya dengan siswi berprestasi apa?
Jelas ada dong ! :D

Namanya Nadya Eunice Sumolang. Bacanya "nadya yunike sumolang* -_- jangan sampai salah sebut kalau yang punya nama bakal langsung ngamuk.
Ok. Hubungannya? Yuppp,, dia lah yang terpilih menjadi DUTA BACA tingkat SMA se-Kota Makassar, menyisihkan 12 lawannya dari SMA lain dan salat satu yag ia kalahkan adalah SMAN17 yang terbilang lebih berprestasi dari SMAN3.



Oh ya, bukan membangga-banggakan si dia yah. Tapi emang dianya yang berprestasi memancing saya untuk menceritakannya malam ini.
Nadya ini sering banget loh ikut lomba-lomba akademik. Oh,ia, hampir lupa menginformasikan.
Nadya ini ranking umum 1 loh sejak kelas X semester 1 hingga sekarang. Wawww
Perempuan kelahiran 4 januari ini juga jago nge-dance. ada yang mau tanding??

Kembali pada pemilihan duta baca di Trans Studio waktu 26 november kemarin
Mmm, sebelum terpilih menjadi duta baca kemarin, para peserta yang lolos 12 besar termasuk nadya harus berorasi dulu. Tau berorasi kan?? Yah, itu dia. -_-


Selanjutnya ?? Ok. kapan-kapan aja baru tau ya, *biar penasaran* . hihi

Jumat, 30 November 2012

And I Found You


Hey hey hey,,,
Ini nih cerpen kedua dari saudari kita Fatimah Az Zahra
Tetap beri saran dan komentarnya ya :)

Selamat membaca ^^





Dinda bukanlah perempuan yang sempurna namun tidak terlalu buruk, bukan yang sempurna untuk menjadi perhatian para pria di kampusnya. Tak ada satupun dari dirinya yang bisa ia jadikan daya tarik untuk memikat pria. Itulah mengapa sampai sekarang Dindah masih single. Namun Dinda masih memiliki Fanya dan Reta. Setidaknya hidupnya tak selalu galau lah.
Namun lama-kelamaan Dinda mulai memikirkan kesendiriannya. Ia sering cemburu ketika melihat kedua sahabatnya di antar sama pacarnya, pulang bareng pacarnya. Tak jarang Dinda membayangkan Reza.
Reza?? Yahh, Reza adalah tetangga misterius Dinda. Wajah tampan, kulit putih bersih, jago main bola. Kelebihannya? Tampan dan jago main bola. Itu saja yang Dinda tau. Tapi Dinda bukanlah melihat Reza dari ketampanannya, melainkan dari kehebatan Reza dalam setiap permainan kakinya yang selalu menciptakan gol.
“Hoyyyy.” Fanya dan Reta mengagetkan Dinda yang sedang membaca novel namun tepatnya terlihat lebih kepada melamunkan sesuatu.
“Lo ngelamun ya?” Tanya Fanya menyengir melihat Dinda masih mengusap dadanya. Fanya dan Reta lalu mengambil tempat duduk di samping Dinda, tepatnya mengapit Dinda.
“Hah? Gak dong. Dinda kan gak suka ngelamun.” Jawab Dinda dengan bangganya, namun berbohong.
“Lo bohong dong!” ucap Reta lalu memutar kepala Dinda hingga tepat saling berhadapan.
“Apaan sih?” Dinda lalu melepaskan tangan Reta di wajahnya.
“Ok. Sori, sori.” Reta lalu diam beberapa saat lalu melanjutkan kata-katanya. “Lo suka reza kan?” Spontan raut wajah Dinda lalu berubah tegang. Ia takut kedua temannya prihatin karena ia tak memiliki kekasih dan berniat keras mencarikannya kekasih. “No….” Dinda menggeleng dengan kencangnya, membayangkan hal itu pun Dinda risih.
Fanya dan Reta saling berpandangan. Saling tak mengerti dengan Dinda, saling membutuhkan jawaban. Dinda ikut dalam diam Fanya dan Reta.
“Ok. Lo boleh gak ngaku kok. Kita juga gak maksa.” Ucap Reta diikuti anggukan Fanya. Lalu ketiganya tersenyum. Merasakan kebahagiaan yang dalam. Terlebih Dinda. Merasa ia memang tak sendiri.
'''

“Fan, ret, aku pulang duluan ya!” pamit Dinda terlihat sangat terburu-buru.
“Lo kenapa sih din?” Tanya Fanya merasa ada yang Dinda sembunyikan darinya dan Reta. Dinda hanya menggeleng lalu berjalan cepat meninggalkan Fanya dan Reta.
“Dindaaa.” Panggil Reta segera. Dinda sempat menoleh. “Cerita kapanpun kamu mau.” Ucap Reta lalu tersenyum. Melepas Dinda. Membiarkan Dinda melakukan segalanya sesuai hatinya.
Dinda lalu menuju parkiran. Membawa mobilnya meninggalkan tempat yangs erring membuatnya merasa terpenjara, dan kembali ke rumah tepatnya di teras tempat dimana Reza mencuri perhatian Dinda.
Tak butuh waktu lama, Dinda kini sudah memarkir mobilnya di depan rumah. Ia lalu menuju kamarnya dan segera menarik handuknya lalu mandi. Dinda mandi begitu cepat. “Aduhh, telat nih!” ucap Dinda terburu-buru mencari baju rumah terbaiknya.
Selesai. Dinda kini telah rapi, tidak udik lagi. “Ok. Sekarang cuma butuh mental dan gak boleh salting.” Dinda berucap pada bayangannya di cermin dengan senyum genitnya.
Kini jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Lapangan di depan rumah Dinda sudah ramai. Mulai dari anak kecil hingga yang seusia dengan Dinda, dan salah satunya adalah Reza. Yang membuat Dinda meninggalkan Fanya dan Reta setiap jam 3 sore mulai berdentang di jam tangannya. Yang membuat Dinda rela ngebut-ngebut di jalan demi cepat sampai di rumah. Yang membuat Dinda menjadi lebih cepat mandi yang biasanya membutuhkan waktu satu jam lebih.
Dinda lalu duduk tepat di teras atas rumahnya yang tepat berhadapan langsung dengan lapangan hingga Reza terlihat begitu jelas oleh Dinda. Jantung Dinda berdetak lebih cepat dari biasanya. “Oh,, tidak. Reza senyum ke gue.” Dinda lalu menunduk malu, salah tingkah.
Tiba-tiba hujan turun. Lapangan yang tadinya ramai kini tak seorangpun disana. Hujan semakin deras. Namun Dinda tak beranjak meninggalkan bangkunya. Sebuah kertas bertuliskan “I LOVE YOU” diangkatnya mengarah ke lapangan. Tak sadar Dinda meneteskan air matanya. Ia hanya bisa memendam. Hanya bisa mengagumi sosok Reza.
“Aku takut mengartikan senyum itu!” Tangisan Dinda lalu meledak, seakan melengkapi sedihnya awan yang sedang hujan.

'''

Dinda akhirnya terbangun setelah tidur panjangnya. Untung saja hari ini hari sabtu, Dinda sedang tidak ada kuliah. Dan memang Dinda tak berniat beraktivitas hari ini. Dinda bangkit dari tempat tidurnya, menuju meja belajar, membuka diary nya.
Dinda kembali mengingat kejadian kemarin, kembali hatinya juga sesak, matanya terlebih. Dinda menumpahkan segala kesedihannya di diary itu.

Aku mungkin seorang yang bodoh
Mengagumi dia,
dia yang melihatku transparan
Namun senyuman itu,
Aku takut untuk mengartikannya
Takut kalau senyuman itu hanya sebuah kebetulan
Mungkin mengagumi dia lebih baik L

“you make me feel like I’m livin’ a teenage dream,,,,,”, seorang menelfon Dinda. Dinda lalu menumpahkan seluruh isi tasnya ke kasur karena sejak kemarin hpenya tak keluar dari tas.
“Fanya?” Dinda lalu menekan tombol telepon berwarna hiijau.
“Fanya? Ada apa?” Tanya Dinda to the point.
“Idih, to the point banget.” Ledek Fanya dengan mengulurkan lidahnya meski Dinda tak dapat melihatnya. Dinda hanya menyengir kuda.
“Kita karokean bentar ya, bareng Reta juga kok. Gak ada Dimas sama Andre. Jadi kita bebas bertiga.” Ucap Fanya panjang lebar.
“Boleh banget.” Dinda dengan cepat menerima ajakan Fanya.
“Ok. Jam dua belas yah.” Ucap Fanya lagi.
“Ia.” Jawab Dinda lalu mematikan hpenya.
Dinda lalu kembali ke diary nya.

Seandainya kamu tau perasaan ini,
Mengagumi adalah hal tersakit yang pernah ku rasakan,
Akankah kamu mengerti setiap tingkah ku?
Akankah kau mengerti akan kehadiranku ini?
Setiap sore tulisan itu selalu ingin ku tunjukkan padamu,
Ingin kau tau semua maksud ku selama ini,
Ingin kau tau betapa sakit menantimu,
Menanti respon mu yang tak pasti untukku
Namun tak akan ku berhenti menunggu
Menunggu hingga waktu mengizinkan kau untuk tau segalanya

'''

Dinda, Fanya dan Reta terlalu asik dalam tiap lantunan lagu yang mereka nyanyikan hingga tak satupun yang sadar kalau mereka telah menghabiskan 4 jam untuk bernyanyi hingga saat alarm Dinda berbunyi, tepatnya alarm untuk mengingatkan waktu sholat    magrib.
“Din, itu alarm apa sih? Brisik banget.” Ucap Fanya merasa terganggu dengan nada alarm Dinda yang terus berbunyi.
“Hehhe, itu alarm buat solat.” Jawab Dinda nyegir kuda. Lalu mematikan alarmnya.
“Hah? Magrib? Pulang yuk.” Ucap Reta gelagapan.
“Yooo.” Ucap Fanya mengiyakan Reta.
Mereka lalu mematikan lagu dan berjalan keluar meninggalkan kamar bernyanyi.
“Fan, ret, kalian pulang duluan aja yah. Aku ada urusan.” Ucap Dinda menyuruh Fanya dan Reta untuk meninggalkannya.
“Ok. Lo hati-hati ya.” Ucap Reta lalu meninggalkan Dinda di parkiran.

'''

Matahari itu begitu indah ketika mulai berubah wujud menjadi bintang dan bulan. Deburan ombak terasa menyempurnakan keindahan matahari yang ingin berubah wujud itu. Ketika kilaunya matahari mulai berakhir, rasa tenang merasuki tubuh Dinda, membuat Dinda nyaman dan terbuai dengan deburan ombak yang tenang dengan cahaya matahari yang memudar. Dinda menyukainya. Menyukai sunset dengan paduan deburan ombak tepatnya.
“Hai.” Suara itu mengagetkan Dinda yang duduk tenang di bibir pantai. Dinda menoleh. Memperhatikan dengan seksama pria yang sedang berdiri di belakangnya.
Nafas Dinda seakan tercekat di rahang tenggorokan, jantungnya 5 kali lebih cepat dari biasanya. Otaknya tak mampu melakukan apa-apa. Bibirnya seakan terkunci rapat.
Reza. Reza kini tepat di depan matanya. Entah apa maksud dari kehadiran Reza tiba-tiba dan menemui Dinda tiba-tiba. Otak Dinda sangat sulit mengartikan semua yang kebetulan ini.
“Heii.” Ucap Reza dengan melambaikan tangannya di depan muka Dinda.
“Ahh.. hehe.” Dinda kaku, tak tau ingin berkata apa.
Reza lalu duduk tepat di samping Dinda. Dalam diam masing-masing menikmati deburan ombak. Begitu tenang mereka rasakan.
“Din, kamu suka ombak juga?” Tanya Reza memecah keheningan dan kekauan di antara mereka.
“Ia. Banget malah.” Jawab Dinda begitu bersemangat. “Kalau kamu?” Tanya Dinda balik.
“Dulu, saat pertama melihat wanita itu, aku memikirkan satu hal. Bagaimana agar wanita itu dapat mengerti maksud kehadiranku. Aku gak begitu suka untuk menceritakan isi hatiku kepada siapapun. Dan yang tau segalanya tentang perasaan ini adalah ombak dan matahari yang mulai tenggelam ini. Dan di pantai ini juga.” Jawab Reza menatap lurus deburan ombak.
Perasaan Dinda nyaman. Ia tak salah tingkah. Ia tak mengerti perasaannya saat ini. Yang Dinda tau kini hanyalah Reza berada di sampingnya dan membuatnya tenang. Dinda merasa ia dan Reza seperti telah berteman lama.
“Kamu gak berfikir untuk mengejar wanita itu?” Tanya Dinda menoleh, menyorot tajam ke mata Reza. Reza membalas tatapan itu.
“Aku sedang berusaha mengejarnya, mencari tau apakah yang dilakukannya setiap hari itu adalah untukku atau hanya untuk temanku.”
“Aku yakin dia menyukaimu juga. Ia memiliki perasaan yang sama denganmu.”

'''

Rasa itupun kian membara
Entah bagaimana dapat ku menahannya
Pertemuan itu sangat berarti
Tolong seseorang untuk mengartikan semua kebetulan itu
Adakah dia tau aku ingin waktu terhenti saat itu juga?
Membiarkan aku dan dia berdua dalam ketenangan
Dalam kedamaian, Dalam kesunyian ini
Saling meresapi rasa

'''

“Dinda, lo ikut kita dong.” Ucap Fanya dengan manjanya.
“Emang mau kemana?” Tanya Dinda polos.
“Nonton acara musik band indi.” Jawab Fanya dengan kedipan matanya, menggoda Dinda agar ingin ikut dengannya.
“Sekarang ya?” Tanya Dinda lagi. Fanya dan Reta hanya mengangguk mengiyakan.
“Boleh deh. Lagi suntuk juga nih.” Ucap Dinda lalu malah menarik kedua temannya dengan begitu semangat menuju parkiran kampus.

'''

“Ketika ku menemukan mu, di sudut yang kelam ini, rasa ingin memelukmu kembali merasuki ku …..”
“Wah,, fan, ret, suaranya keren.” Puji Dinda ketika mereka baru saja mencoba menorobos kerumunan manusia untuk mendapat tempat di depan.
Fanya dan Reta tersenyum penuh arti.
Mereka kini berada tepat di panggung setelah perjuangan menerobos lautan manusia dengan penuh sesak.
“Yah, baru aja nyampe depan. Langsung selesai deh. Ihhhhhh!” ucap Dinda dongkol, jengkel, ingin marah, baru saja ia menikmati alunan music dengan suara penyanyi yang lembut namun ternyata penampilan yang tadi adalah penutup acara.
“Yee, udah kali din. Gak usah kesal gitu.” Ucap Fanya mengusap punggung Dinda.
“Lo penasaran ya dengan yang nyanyi tadi?” Tanya Reta penasaran.
“Banget ta, suaranya lembuuuut banget.” Jawab Dinda dengan gemasnya. “Udah deh, mending pulang. Betein deh.” Dinda lalu dengan keras menarik tangan Fanya dan Reta dan digenggamnya kuat.
“Gak usah buru-buru dong.” Ucap Reta mencoba melepaskan genggaman Dinda.
“Eh, lewat belakang panggung yuk. Kali aja bisa ketemu penyanyi yang tadi.” Ucap Fanya balik menarik tangan Dinda.
Dinda dan Reta hanya mengikuti langkah Fanya. Saling diam dan tak mengerti dengan semua yang terjadi sejak tadi.
“Zaaa…. “ teriak Fanya kencangnya hingga beberapa orang mejadikan ketiganya artis dadakan. “Zaaaa….” Ulang Fanya dan kini melambaikan tangan.
Seorang pria dan wanita yang bergandengan mesra kini berjalan tepat menuju ke arah Fanya, Dinda dan Reta. Mereka tersenyum kepada Fanya, Dinda dan Reta. Namun Dinda merasakan suatu yang aneh. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Dinda kembali merasakan sesak. Seperti dua hari yang lalu ketika Reza tiba-tiba muncul dan berada di sisinya. Pria dan wanita yang tadi di panggil Fanya kini semakin dekat dengan Dinda, Fanya dan Reta.
“Hei fan.” Sapa pria itu.
“Reza?” kembali kini Reza tepat di depannya. Rasa aneh dan sesak yang melanda Dinda hingga kini terjawab. Itu karena Reza kini memiliki jarak yang dekat dengannya.
“Fan, ret. Gue balik duluan ya.” Ucap Dinda dengan tangis yang kini sudah di ujung matanya dan sebentar lagi akan tumpah ruah.
“Dindaaaaaaa……….” Fanya dan Reta kini berlari mengejar Dinda yang berlari kencang di depan. Fanya dan Reta meninggalkan Reza di tempat dengan perempuan yang digandeng mesranya.

'''

Dinda tak tahu kini perasaannya seperti apa. Air mata terus mengalir di pipinya. I a cemburu, marah, jengkel pada Reza. Cemburu karena dua hari yang lalu Reza baru saja bersama dengannya. Namun hari ini, tepat di depannya, Reza bergandengan mesra dengan seorang perempuan cantik.

Andai Tuhan tau,
Telah berapa kepingan hati ku yang retak
Andai Tuhan tau,
Senyuman itu membuatku terus bertahan
Andai Tuhan tau,
Pertemuan itu membuatku percaya akan sebuah penantian
Tak dapat ku jelaskan senang ku seperti apa
Aku ingin waktu terhenti
Mengabadikan kami dalam ketenangan
Andai Tuhan tau,
Aku siap nyawaku diambil saat itu juga
Tak peduli harapan dan impianku yang belum terwujud
Dan aku yakin penantianku telah terwujud

“Dinda.” Fanya dan Reta kini berada di kamar Dinda. Merasa bersalah. Memeluk Dinda erat. Meyakinkan Dinda bahwa semua akan baik-baik saja. Namun air mata Dinda tak kunjung  berhenti.
“Din, maaf. Kita gak maksud nyakitin lo.” Ucap Fanya mulai membuka suara. Menghilangkan keheningan di antara mereka. Terlebih pada Dinda.
“Gak kok. Kalian gak salah.” Ucap Dinda menghapus sisa tetesan air matanya di pipi. Menenagkan diri. Mencoba menganggap ia tak pernah melihat Reza dengan perempuan itu dan tak pernah sedekat itu dengan Reza.
“Tapi kita emang salah.” Ucap Fanya lagi dan kini dengan ngototnya.
“Udah, lupain aja. Aku gak marah. Kalian gak salah. Ini Cuma bagian dari takdir kok.” Dinda lalu memeluk erat kedua sahabatnya. Memeluk dalam tenang. Meresapi kedekatan mereka selama ini.
Fanya dan Reta kini menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa Reza adalah teman mereka, teman kampus Dinda juga. Hanya saja Dinda tak pernah melihat Reza di kampus. Dan kejadian tadi adalah ulah Fanya dan Reta.

'''

Seminggu berlalu, Dinda mulai terbiasa untuk tidak menanti kehadiran Reza di lapangan depan rumahnya. Mulai terbiasa untuk tidak memikirkan Reza ketika fikirannya kosong. Mulai membiarkan takdir yang mengatur hidupnya.
Kini Dinda seorang diri di tempat yang sunyi, penuh ketenangan, taka da siapapun yang mengusiknya, terlebih mencoba menghiburnya, termasuk Fanya dan Reta.

“ Bulan, apa aku salah jika mencintainya?
Apa aku berhak cemburu ketika dia bersama yang lain?
Apa hak ku?
Selama ini, aku berfikir penantian akan berujung indah
Tapi, buktinya? Aku?
Aku sama skali tak merasakan itu
Aku fikir dia mencintaiku
Dia punya rasa yang sama denganku
Ternyata,,
Itu hanya anganku
Itu hanya impianku
Ia sama skali tak menyukaiku
Sama skali tak peduli dengan rasa ku “
“ Bulan, aku mencintainya.
Harapan ku untuk bisa memilikinya masih ada
Namun meski tak satupun tanda yang membenarkan anganku itu “

Dinda menenggelamkan kepalanya dalam pelukan kakinya. Angin berhembus riuh seakan tak ingin mendengar keluhan Dinda. Dan Dinda, tetap terisak meski telah banyak air mata yang ia tumpahkan demi sebuah penantian yang tak ia tau akhirnya.

“ Kamu tidak salah karena telah mecintainya
Kamu berhak cemburu karenanya
Yang aku tau penantian akan berujung indah
Dia mencintaimu lebih dari yang kau tau
Itu bukan sekedar anganmu, bukan sekedar harapmu
Dia bahkan lebih mencintaimu
Dan kini, harapanmu terwujud “

Dinda mendengarnya, mendengar jawaban bulan. Namun adakah bulan dapat berbicara? Dinda lalu mengangkat kepalanya. Mencari sosok pemilik suara. Dan gelap. Ia tak melihat seorang pun di sini bersamanya.
“Aku terlalu bodoh untuk membiarkan orang yang tulus mencintaiku akan melupakanku.” Suara itu begitu jelas terdengar di telinga Dinda.
Reza. Suara itu milik Reza. Kini Reza kembali berada di samping Dinda. Di tempat yang sama. Tempat pertama kali takdir membuatnya lebih dekat dengan Dinda.
Dinda kini diam membisu. Kembali perasaannya terguncang. Ia bingung, tak mengerti dengan segalanya. Akankah ini sebuah kebetulan lagi? Ataukah kini ia sedang dalam mimpi? Dinda lalu memukul kedua pipinya bergantian.
“Awww.” Sakit. Ya, Dinda merasakan sakit. Ia tak sedang dalam mimpi indah. Ini nyata.

“Kebetulan hanya datang sekali
Dan pertemuan selanjutnya adalah takdir “

“ Dan aku, aku bukanlah sebuah kebetulan untukmu
Dan kamu, bukan sebuah kebetulan untukku
Yang aku tau kini, kau mencintaiku
Aku mencintaimu
Dan kita bukanlah sebuah penantian “

Dinda memeluk Reza. Erat. Ia tak peduli perempuan yang pernah bergandeng mesra dengan Reza. Ia tak peduli apakah ini akan menjadi sebuah kebetulan lagi. Yang ia tau kini, perempuan yang dimaksud Reza adalah dia sendiri.
“ Ingin rasanya waktu terhenti.” Ucap Dinda menatap lekat Reza. Persis tatapannya saat pertemuan pertama dulu.
“Jangan dong din, aku baru sehari sama kamu.” Elak Reza, tak setuju dengan ucapan Dinda barusan.
“Za, tolong katakana sesuatu untuk meyakinkanku, bahwa ini bukan sebuah kebetulan lagi.” Pinta Dinda dengan manjanya.
“AND I FOUND YOUUUUUUU… I LOVE YOU DINDAAAAAA…….” Reza teriak sekencang-kencangnya meski tak seorangpun mendengarnya.