Jumat, 30 November 2012

And I Found You


Hey hey hey,,,
Ini nih cerpen kedua dari saudari kita Fatimah Az Zahra
Tetap beri saran dan komentarnya ya :)

Selamat membaca ^^





Dinda bukanlah perempuan yang sempurna namun tidak terlalu buruk, bukan yang sempurna untuk menjadi perhatian para pria di kampusnya. Tak ada satupun dari dirinya yang bisa ia jadikan daya tarik untuk memikat pria. Itulah mengapa sampai sekarang Dindah masih single. Namun Dinda masih memiliki Fanya dan Reta. Setidaknya hidupnya tak selalu galau lah.
Namun lama-kelamaan Dinda mulai memikirkan kesendiriannya. Ia sering cemburu ketika melihat kedua sahabatnya di antar sama pacarnya, pulang bareng pacarnya. Tak jarang Dinda membayangkan Reza.
Reza?? Yahh, Reza adalah tetangga misterius Dinda. Wajah tampan, kulit putih bersih, jago main bola. Kelebihannya? Tampan dan jago main bola. Itu saja yang Dinda tau. Tapi Dinda bukanlah melihat Reza dari ketampanannya, melainkan dari kehebatan Reza dalam setiap permainan kakinya yang selalu menciptakan gol.
“Hoyyyy.” Fanya dan Reta mengagetkan Dinda yang sedang membaca novel namun tepatnya terlihat lebih kepada melamunkan sesuatu.
“Lo ngelamun ya?” Tanya Fanya menyengir melihat Dinda masih mengusap dadanya. Fanya dan Reta lalu mengambil tempat duduk di samping Dinda, tepatnya mengapit Dinda.
“Hah? Gak dong. Dinda kan gak suka ngelamun.” Jawab Dinda dengan bangganya, namun berbohong.
“Lo bohong dong!” ucap Reta lalu memutar kepala Dinda hingga tepat saling berhadapan.
“Apaan sih?” Dinda lalu melepaskan tangan Reta di wajahnya.
“Ok. Sori, sori.” Reta lalu diam beberapa saat lalu melanjutkan kata-katanya. “Lo suka reza kan?” Spontan raut wajah Dinda lalu berubah tegang. Ia takut kedua temannya prihatin karena ia tak memiliki kekasih dan berniat keras mencarikannya kekasih. “No….” Dinda menggeleng dengan kencangnya, membayangkan hal itu pun Dinda risih.
Fanya dan Reta saling berpandangan. Saling tak mengerti dengan Dinda, saling membutuhkan jawaban. Dinda ikut dalam diam Fanya dan Reta.
“Ok. Lo boleh gak ngaku kok. Kita juga gak maksa.” Ucap Reta diikuti anggukan Fanya. Lalu ketiganya tersenyum. Merasakan kebahagiaan yang dalam. Terlebih Dinda. Merasa ia memang tak sendiri.
'''

“Fan, ret, aku pulang duluan ya!” pamit Dinda terlihat sangat terburu-buru.
“Lo kenapa sih din?” Tanya Fanya merasa ada yang Dinda sembunyikan darinya dan Reta. Dinda hanya menggeleng lalu berjalan cepat meninggalkan Fanya dan Reta.
“Dindaaa.” Panggil Reta segera. Dinda sempat menoleh. “Cerita kapanpun kamu mau.” Ucap Reta lalu tersenyum. Melepas Dinda. Membiarkan Dinda melakukan segalanya sesuai hatinya.
Dinda lalu menuju parkiran. Membawa mobilnya meninggalkan tempat yangs erring membuatnya merasa terpenjara, dan kembali ke rumah tepatnya di teras tempat dimana Reza mencuri perhatian Dinda.
Tak butuh waktu lama, Dinda kini sudah memarkir mobilnya di depan rumah. Ia lalu menuju kamarnya dan segera menarik handuknya lalu mandi. Dinda mandi begitu cepat. “Aduhh, telat nih!” ucap Dinda terburu-buru mencari baju rumah terbaiknya.
Selesai. Dinda kini telah rapi, tidak udik lagi. “Ok. Sekarang cuma butuh mental dan gak boleh salting.” Dinda berucap pada bayangannya di cermin dengan senyum genitnya.
Kini jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Lapangan di depan rumah Dinda sudah ramai. Mulai dari anak kecil hingga yang seusia dengan Dinda, dan salah satunya adalah Reza. Yang membuat Dinda meninggalkan Fanya dan Reta setiap jam 3 sore mulai berdentang di jam tangannya. Yang membuat Dinda rela ngebut-ngebut di jalan demi cepat sampai di rumah. Yang membuat Dinda menjadi lebih cepat mandi yang biasanya membutuhkan waktu satu jam lebih.
Dinda lalu duduk tepat di teras atas rumahnya yang tepat berhadapan langsung dengan lapangan hingga Reza terlihat begitu jelas oleh Dinda. Jantung Dinda berdetak lebih cepat dari biasanya. “Oh,, tidak. Reza senyum ke gue.” Dinda lalu menunduk malu, salah tingkah.
Tiba-tiba hujan turun. Lapangan yang tadinya ramai kini tak seorangpun disana. Hujan semakin deras. Namun Dinda tak beranjak meninggalkan bangkunya. Sebuah kertas bertuliskan “I LOVE YOU” diangkatnya mengarah ke lapangan. Tak sadar Dinda meneteskan air matanya. Ia hanya bisa memendam. Hanya bisa mengagumi sosok Reza.
“Aku takut mengartikan senyum itu!” Tangisan Dinda lalu meledak, seakan melengkapi sedihnya awan yang sedang hujan.

'''

Dinda akhirnya terbangun setelah tidur panjangnya. Untung saja hari ini hari sabtu, Dinda sedang tidak ada kuliah. Dan memang Dinda tak berniat beraktivitas hari ini. Dinda bangkit dari tempat tidurnya, menuju meja belajar, membuka diary nya.
Dinda kembali mengingat kejadian kemarin, kembali hatinya juga sesak, matanya terlebih. Dinda menumpahkan segala kesedihannya di diary itu.

Aku mungkin seorang yang bodoh
Mengagumi dia,
dia yang melihatku transparan
Namun senyuman itu,
Aku takut untuk mengartikannya
Takut kalau senyuman itu hanya sebuah kebetulan
Mungkin mengagumi dia lebih baik L

“you make me feel like I’m livin’ a teenage dream,,,,,”, seorang menelfon Dinda. Dinda lalu menumpahkan seluruh isi tasnya ke kasur karena sejak kemarin hpenya tak keluar dari tas.
“Fanya?” Dinda lalu menekan tombol telepon berwarna hiijau.
“Fanya? Ada apa?” Tanya Dinda to the point.
“Idih, to the point banget.” Ledek Fanya dengan mengulurkan lidahnya meski Dinda tak dapat melihatnya. Dinda hanya menyengir kuda.
“Kita karokean bentar ya, bareng Reta juga kok. Gak ada Dimas sama Andre. Jadi kita bebas bertiga.” Ucap Fanya panjang lebar.
“Boleh banget.” Dinda dengan cepat menerima ajakan Fanya.
“Ok. Jam dua belas yah.” Ucap Fanya lagi.
“Ia.” Jawab Dinda lalu mematikan hpenya.
Dinda lalu kembali ke diary nya.

Seandainya kamu tau perasaan ini,
Mengagumi adalah hal tersakit yang pernah ku rasakan,
Akankah kamu mengerti setiap tingkah ku?
Akankah kau mengerti akan kehadiranku ini?
Setiap sore tulisan itu selalu ingin ku tunjukkan padamu,
Ingin kau tau semua maksud ku selama ini,
Ingin kau tau betapa sakit menantimu,
Menanti respon mu yang tak pasti untukku
Namun tak akan ku berhenti menunggu
Menunggu hingga waktu mengizinkan kau untuk tau segalanya

'''

Dinda, Fanya dan Reta terlalu asik dalam tiap lantunan lagu yang mereka nyanyikan hingga tak satupun yang sadar kalau mereka telah menghabiskan 4 jam untuk bernyanyi hingga saat alarm Dinda berbunyi, tepatnya alarm untuk mengingatkan waktu sholat    magrib.
“Din, itu alarm apa sih? Brisik banget.” Ucap Fanya merasa terganggu dengan nada alarm Dinda yang terus berbunyi.
“Hehhe, itu alarm buat solat.” Jawab Dinda nyegir kuda. Lalu mematikan alarmnya.
“Hah? Magrib? Pulang yuk.” Ucap Reta gelagapan.
“Yooo.” Ucap Fanya mengiyakan Reta.
Mereka lalu mematikan lagu dan berjalan keluar meninggalkan kamar bernyanyi.
“Fan, ret, kalian pulang duluan aja yah. Aku ada urusan.” Ucap Dinda menyuruh Fanya dan Reta untuk meninggalkannya.
“Ok. Lo hati-hati ya.” Ucap Reta lalu meninggalkan Dinda di parkiran.

'''

Matahari itu begitu indah ketika mulai berubah wujud menjadi bintang dan bulan. Deburan ombak terasa menyempurnakan keindahan matahari yang ingin berubah wujud itu. Ketika kilaunya matahari mulai berakhir, rasa tenang merasuki tubuh Dinda, membuat Dinda nyaman dan terbuai dengan deburan ombak yang tenang dengan cahaya matahari yang memudar. Dinda menyukainya. Menyukai sunset dengan paduan deburan ombak tepatnya.
“Hai.” Suara itu mengagetkan Dinda yang duduk tenang di bibir pantai. Dinda menoleh. Memperhatikan dengan seksama pria yang sedang berdiri di belakangnya.
Nafas Dinda seakan tercekat di rahang tenggorokan, jantungnya 5 kali lebih cepat dari biasanya. Otaknya tak mampu melakukan apa-apa. Bibirnya seakan terkunci rapat.
Reza. Reza kini tepat di depan matanya. Entah apa maksud dari kehadiran Reza tiba-tiba dan menemui Dinda tiba-tiba. Otak Dinda sangat sulit mengartikan semua yang kebetulan ini.
“Heii.” Ucap Reza dengan melambaikan tangannya di depan muka Dinda.
“Ahh.. hehe.” Dinda kaku, tak tau ingin berkata apa.
Reza lalu duduk tepat di samping Dinda. Dalam diam masing-masing menikmati deburan ombak. Begitu tenang mereka rasakan.
“Din, kamu suka ombak juga?” Tanya Reza memecah keheningan dan kekauan di antara mereka.
“Ia. Banget malah.” Jawab Dinda begitu bersemangat. “Kalau kamu?” Tanya Dinda balik.
“Dulu, saat pertama melihat wanita itu, aku memikirkan satu hal. Bagaimana agar wanita itu dapat mengerti maksud kehadiranku. Aku gak begitu suka untuk menceritakan isi hatiku kepada siapapun. Dan yang tau segalanya tentang perasaan ini adalah ombak dan matahari yang mulai tenggelam ini. Dan di pantai ini juga.” Jawab Reza menatap lurus deburan ombak.
Perasaan Dinda nyaman. Ia tak salah tingkah. Ia tak mengerti perasaannya saat ini. Yang Dinda tau kini hanyalah Reza berada di sampingnya dan membuatnya tenang. Dinda merasa ia dan Reza seperti telah berteman lama.
“Kamu gak berfikir untuk mengejar wanita itu?” Tanya Dinda menoleh, menyorot tajam ke mata Reza. Reza membalas tatapan itu.
“Aku sedang berusaha mengejarnya, mencari tau apakah yang dilakukannya setiap hari itu adalah untukku atau hanya untuk temanku.”
“Aku yakin dia menyukaimu juga. Ia memiliki perasaan yang sama denganmu.”

'''

Rasa itupun kian membara
Entah bagaimana dapat ku menahannya
Pertemuan itu sangat berarti
Tolong seseorang untuk mengartikan semua kebetulan itu
Adakah dia tau aku ingin waktu terhenti saat itu juga?
Membiarkan aku dan dia berdua dalam ketenangan
Dalam kedamaian, Dalam kesunyian ini
Saling meresapi rasa

'''

“Dinda, lo ikut kita dong.” Ucap Fanya dengan manjanya.
“Emang mau kemana?” Tanya Dinda polos.
“Nonton acara musik band indi.” Jawab Fanya dengan kedipan matanya, menggoda Dinda agar ingin ikut dengannya.
“Sekarang ya?” Tanya Dinda lagi. Fanya dan Reta hanya mengangguk mengiyakan.
“Boleh deh. Lagi suntuk juga nih.” Ucap Dinda lalu malah menarik kedua temannya dengan begitu semangat menuju parkiran kampus.

'''

“Ketika ku menemukan mu, di sudut yang kelam ini, rasa ingin memelukmu kembali merasuki ku …..”
“Wah,, fan, ret, suaranya keren.” Puji Dinda ketika mereka baru saja mencoba menorobos kerumunan manusia untuk mendapat tempat di depan.
Fanya dan Reta tersenyum penuh arti.
Mereka kini berada tepat di panggung setelah perjuangan menerobos lautan manusia dengan penuh sesak.
“Yah, baru aja nyampe depan. Langsung selesai deh. Ihhhhhh!” ucap Dinda dongkol, jengkel, ingin marah, baru saja ia menikmati alunan music dengan suara penyanyi yang lembut namun ternyata penampilan yang tadi adalah penutup acara.
“Yee, udah kali din. Gak usah kesal gitu.” Ucap Fanya mengusap punggung Dinda.
“Lo penasaran ya dengan yang nyanyi tadi?” Tanya Reta penasaran.
“Banget ta, suaranya lembuuuut banget.” Jawab Dinda dengan gemasnya. “Udah deh, mending pulang. Betein deh.” Dinda lalu dengan keras menarik tangan Fanya dan Reta dan digenggamnya kuat.
“Gak usah buru-buru dong.” Ucap Reta mencoba melepaskan genggaman Dinda.
“Eh, lewat belakang panggung yuk. Kali aja bisa ketemu penyanyi yang tadi.” Ucap Fanya balik menarik tangan Dinda.
Dinda dan Reta hanya mengikuti langkah Fanya. Saling diam dan tak mengerti dengan semua yang terjadi sejak tadi.
“Zaaa…. “ teriak Fanya kencangnya hingga beberapa orang mejadikan ketiganya artis dadakan. “Zaaaa….” Ulang Fanya dan kini melambaikan tangan.
Seorang pria dan wanita yang bergandengan mesra kini berjalan tepat menuju ke arah Fanya, Dinda dan Reta. Mereka tersenyum kepada Fanya, Dinda dan Reta. Namun Dinda merasakan suatu yang aneh. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Dinda kembali merasakan sesak. Seperti dua hari yang lalu ketika Reza tiba-tiba muncul dan berada di sisinya. Pria dan wanita yang tadi di panggil Fanya kini semakin dekat dengan Dinda, Fanya dan Reta.
“Hei fan.” Sapa pria itu.
“Reza?” kembali kini Reza tepat di depannya. Rasa aneh dan sesak yang melanda Dinda hingga kini terjawab. Itu karena Reza kini memiliki jarak yang dekat dengannya.
“Fan, ret. Gue balik duluan ya.” Ucap Dinda dengan tangis yang kini sudah di ujung matanya dan sebentar lagi akan tumpah ruah.
“Dindaaaaaaa……….” Fanya dan Reta kini berlari mengejar Dinda yang berlari kencang di depan. Fanya dan Reta meninggalkan Reza di tempat dengan perempuan yang digandeng mesranya.

'''

Dinda tak tahu kini perasaannya seperti apa. Air mata terus mengalir di pipinya. I a cemburu, marah, jengkel pada Reza. Cemburu karena dua hari yang lalu Reza baru saja bersama dengannya. Namun hari ini, tepat di depannya, Reza bergandengan mesra dengan seorang perempuan cantik.

Andai Tuhan tau,
Telah berapa kepingan hati ku yang retak
Andai Tuhan tau,
Senyuman itu membuatku terus bertahan
Andai Tuhan tau,
Pertemuan itu membuatku percaya akan sebuah penantian
Tak dapat ku jelaskan senang ku seperti apa
Aku ingin waktu terhenti
Mengabadikan kami dalam ketenangan
Andai Tuhan tau,
Aku siap nyawaku diambil saat itu juga
Tak peduli harapan dan impianku yang belum terwujud
Dan aku yakin penantianku telah terwujud

“Dinda.” Fanya dan Reta kini berada di kamar Dinda. Merasa bersalah. Memeluk Dinda erat. Meyakinkan Dinda bahwa semua akan baik-baik saja. Namun air mata Dinda tak kunjung  berhenti.
“Din, maaf. Kita gak maksud nyakitin lo.” Ucap Fanya mulai membuka suara. Menghilangkan keheningan di antara mereka. Terlebih pada Dinda.
“Gak kok. Kalian gak salah.” Ucap Dinda menghapus sisa tetesan air matanya di pipi. Menenagkan diri. Mencoba menganggap ia tak pernah melihat Reza dengan perempuan itu dan tak pernah sedekat itu dengan Reza.
“Tapi kita emang salah.” Ucap Fanya lagi dan kini dengan ngototnya.
“Udah, lupain aja. Aku gak marah. Kalian gak salah. Ini Cuma bagian dari takdir kok.” Dinda lalu memeluk erat kedua sahabatnya. Memeluk dalam tenang. Meresapi kedekatan mereka selama ini.
Fanya dan Reta kini menjelaskan semuanya. Menjelaskan bahwa Reza adalah teman mereka, teman kampus Dinda juga. Hanya saja Dinda tak pernah melihat Reza di kampus. Dan kejadian tadi adalah ulah Fanya dan Reta.

'''

Seminggu berlalu, Dinda mulai terbiasa untuk tidak menanti kehadiran Reza di lapangan depan rumahnya. Mulai terbiasa untuk tidak memikirkan Reza ketika fikirannya kosong. Mulai membiarkan takdir yang mengatur hidupnya.
Kini Dinda seorang diri di tempat yang sunyi, penuh ketenangan, taka da siapapun yang mengusiknya, terlebih mencoba menghiburnya, termasuk Fanya dan Reta.

“ Bulan, apa aku salah jika mencintainya?
Apa aku berhak cemburu ketika dia bersama yang lain?
Apa hak ku?
Selama ini, aku berfikir penantian akan berujung indah
Tapi, buktinya? Aku?
Aku sama skali tak merasakan itu
Aku fikir dia mencintaiku
Dia punya rasa yang sama denganku
Ternyata,,
Itu hanya anganku
Itu hanya impianku
Ia sama skali tak menyukaiku
Sama skali tak peduli dengan rasa ku “
“ Bulan, aku mencintainya.
Harapan ku untuk bisa memilikinya masih ada
Namun meski tak satupun tanda yang membenarkan anganku itu “

Dinda menenggelamkan kepalanya dalam pelukan kakinya. Angin berhembus riuh seakan tak ingin mendengar keluhan Dinda. Dan Dinda, tetap terisak meski telah banyak air mata yang ia tumpahkan demi sebuah penantian yang tak ia tau akhirnya.

“ Kamu tidak salah karena telah mecintainya
Kamu berhak cemburu karenanya
Yang aku tau penantian akan berujung indah
Dia mencintaimu lebih dari yang kau tau
Itu bukan sekedar anganmu, bukan sekedar harapmu
Dia bahkan lebih mencintaimu
Dan kini, harapanmu terwujud “

Dinda mendengarnya, mendengar jawaban bulan. Namun adakah bulan dapat berbicara? Dinda lalu mengangkat kepalanya. Mencari sosok pemilik suara. Dan gelap. Ia tak melihat seorang pun di sini bersamanya.
“Aku terlalu bodoh untuk membiarkan orang yang tulus mencintaiku akan melupakanku.” Suara itu begitu jelas terdengar di telinga Dinda.
Reza. Suara itu milik Reza. Kini Reza kembali berada di samping Dinda. Di tempat yang sama. Tempat pertama kali takdir membuatnya lebih dekat dengan Dinda.
Dinda kini diam membisu. Kembali perasaannya terguncang. Ia bingung, tak mengerti dengan segalanya. Akankah ini sebuah kebetulan lagi? Ataukah kini ia sedang dalam mimpi? Dinda lalu memukul kedua pipinya bergantian.
“Awww.” Sakit. Ya, Dinda merasakan sakit. Ia tak sedang dalam mimpi indah. Ini nyata.

“Kebetulan hanya datang sekali
Dan pertemuan selanjutnya adalah takdir “

“ Dan aku, aku bukanlah sebuah kebetulan untukmu
Dan kamu, bukan sebuah kebetulan untukku
Yang aku tau kini, kau mencintaiku
Aku mencintaimu
Dan kita bukanlah sebuah penantian “

Dinda memeluk Reza. Erat. Ia tak peduli perempuan yang pernah bergandeng mesra dengan Reza. Ia tak peduli apakah ini akan menjadi sebuah kebetulan lagi. Yang ia tau kini, perempuan yang dimaksud Reza adalah dia sendiri.
“ Ingin rasanya waktu terhenti.” Ucap Dinda menatap lekat Reza. Persis tatapannya saat pertemuan pertama dulu.
“Jangan dong din, aku baru sehari sama kamu.” Elak Reza, tak setuju dengan ucapan Dinda barusan.
“Za, tolong katakana sesuatu untuk meyakinkanku, bahwa ini bukan sebuah kebetulan lagi.” Pinta Dinda dengan manjanya.
“AND I FOUND YOUUUUUUU… I LOVE YOU DINDAAAAAA…….” Reza teriak sekencang-kencangnya meski tak seorangpun mendengarnya.

My Dear My Star

Ini nih sahabat SMA , cerpen pertama dari teman kita Fatimah Az Zahra dari kelas XI IPA 1
Lumayan loh ceritanya bagi penulis pemula

Selamat Membaca :)
Jangan lupa juga untuk saran dan kritiknya ya ;)


Namanya Bintang. Usianya yang sebentar lagi genap 16 tahun membuatnya seakan butuh  untuk menjalin hubungan. Sebelumnya, Bintang hanyalah remaja pendiam yang senantiasa memendam segala rasanya pada perempuan yang disukainya. Mengungkapkan perasaannya pada perempuan adalah kelemahannya.
Dan ini lah cinta pertamanya. Dimana Bintang mulai merasakan memiliki seseorang yang special, yang setiap saat peduli dengannya. Namanya Tiara. Mereka seusia. Lahir di tahun dan bulan yang sama dan hanya berbeda sehari saja. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi ia memiliki mata yang dapat memancarkan kecantikannya.
Mulanya, Bintang dan Tiara hanyalah teman bimbel yang di setiap pertemuan mereka di tempat bimbel selalu bercerita banyak hal hingga mereka saling paham karakter masing-masing dan nyaman satu sama lain. Bisa di bilang setelah 3 bulan pertemanan itu, mereka telah menjadi sahabat. Hingga terjadi sesuatu yang membuat jantung Bintang berdebar kencang karenanya.
Saat itu, Bintang sangat lapar hingga begitu bersemangat melahap bakso yang baru saja diantarkan ke mejanya. Bintang memang sungguh lapar, hingga hampir tak ada jeda dalam suapannya hingga makannya belepotan. Perlahan Tiara mencondongkan badannya ke arah Bintang dengan tatapannya yang lurus. Entah kenapa Bintang merasa salah tingkah.
“Kunyuk ----panggilannya untuk Bintang----, makan itu pelan-pelan. Jadinya kan belepotan.” Ucap Tiara sambil menghapus noda di sekitar bibir Bintang. Bintang hanya menahan nafas. Ini kesekian kalinya Tiara memberikan perhatian lebih kepadanya.
“Ahh, emmm.. Hehe.” Ucap Bintang betul-betul salah tingkah. Lalu kembali melanjutkan makan bakso nya yang masih tersisa sedikit.
Selesai makan, Bintang langsung mengantar Tiara pulang. Selama di jalan, selalu saja ada yang menjadi pembahasan mereka. Awalnya hanya membicarakan film action terbaru Indonesia, eh, tau-taunya berlanjut membahas pemerannya hingga kehidupan tiap pemainnya.
“Sampai.!” Ucap Bintang memberhentikan motor tepat di depan pagar rumah Tiara. Tiara pun turun dari boncengannya. “Makasih lagi.” Ucapnya lalu melambaikan tangannya menunnggu hingga Bintang hilang di kegelapan malam.
***
Ya, ini bukan sekedar rasa suka saja. Bintang mencintainya meski 20% dari hatinya belum terlalu yakin. Tapi dari semua yang telah dilakukannya bersama, hingga berapa jam kemudian Bintang menyimpulkan Tiara lah cinta pertamanya. Dan hari ini juga Bintang memutuskan untuk menembaknya sepulang les.
TrrrrrrrrrTrrrrrrrrrrr …… bel berbunyi. Les hari ini berakhir. Hari ini dimana seminggu lagi, 20 april Bintang bertambah umur.
“Ra, kita ke taman yuk.” Ajak Bintang mungkin agak sedikit memaksa karena menggenggam erat tangan Tiara.
Tiara sempat menimbang-nimbang. “Tumben banget.” Ucapnya lalu menarik tangan Bintang begitu bersemangat. Bersemangat karena Tiara memang menyukai taman.
Bintang terdiam selama perjalanan menuju taman, memikirkan tiap kata romantis apa saja yang akan di ucapkannya nanti. Namun sulit rasanya karena ini yang pertama kali untuk Bintang. Sementara Tiara asik sendiri menceritakan kisah sedihnya tadi pagi yang harus membersihkan 5 wc karena terlambat datang ke sekolah.
Tiara turun dari boncengan dan lebih dulu lalu menuju bangku taman yang menghadap keramaian tempat bermain untuk anak-anak. Bintang berjalan ragu mengikuti dari belakang karena belum sama sekali menemukan kata-kata yang indah.
“Ra,”
“Ya” Bintang kembali pada pikirannya, mencari-cari kata sebagai permulaannya. “Kok jadi kaku sih terang?” Tanya Tiara yang merasa ada yang aneh dari Bintang.
“Mmmm,, I Love U Ra.” Ucap Bintang to the point namun ragu. Tiara makin merasa heran, dahinya mengkerut menatap Bintang dengan cekikikannya yang lembut.
“Apa tadi ? Aku gak denger nih!” ucapnya menertawai Bintang.
Bintang lalu menarik nafas pelan, agak kesal. “I Love U.” ulangnya dengan ragu lagi.
“Aku gak salah dengar kan?” Tanya Tiara kembali meyakinkan pendengarannya.
“Gak ra. Kamu mau kan jadi pacarku?” Bintang pun berani meyakinkan Tiara dengan tatapan yang dalam pada mata Tiara. Tiara terdiam, memikirkan sesuatu, ekspresinya terlihat sedikit shock.
“Ra, aku emang bukan cowok romantis yang bisa merangkai kalimat dalam mengungkapkan perasaan ku kepada perempuan yang aku cintai, ini karena aku pertama kalinya menyukai seseorang, tapi aku bisa romantis dalam membuatmu bahagia.” Jelas Bintang panjang lebar. Namun, Tiara masih terdiam dan kini menatap Bintang dengan raut sedih.
“Kenapa ra? Kamu gak bisa terima aku? Gak suka aku?” Tanya Bintang merasa kecewa karena Tiara terlihat begitu sedih. “Gak papa ra. Aku jadi sahabat kamu udah syukur banget.” Tambah Bintang lalu menyunggingkan senyum paksanya menahan luka. Cinta pertama di tolak?? Gimana selanjutnya??!! Bintang lalu menunduk karena Tiara masih mengunci erat mulutnya.
“Aku juga, jadi orang terdekat denganmu udah syukur banget.” Ucap Tiara membangunkan Bintang dari tundukan. Bintang membasalas dengan senyuman. “Dan kamu menjadi kekasihku itu lebih dari syukur.” Ucap Tiara membuat Bintang terkejut. Seketika kedua tangan Tiara memeluk Bintang. Erat dan tenang. Bintang membalas pelukan itu.
***
Seminggu berlalu dan hari ini ulang tahun Bintang. Umurnya kini genap 16 tahun. Dan besok Tiara akan menyusulnya. Hari yang spesial di ulang tahun Bintang adalah tahun ini karena kehadiran Tiara. Tiara terlihat begitu bersemangat untuk merayakan hari ini. Sesekali Bintang memikirkan apa yang akan dihadiahkan Tiara untuknya.
Bintang lalu mengiriminya pesan karena tak bisa menahan rasa penasarannya.
“Sudah, kamu tinggal duduk yang manis aja di rumah. Nanti aku datang kok dengan kejutanku.” Balasnya.
Bintang pun mengikuti perintah Tiara untuk tetap stay di rumah.

Di tempat lain.
Pukul 04.00 sore. Tiara mengendarai motornya menyusuri jalanan kecil yang di setiap pinggiran jalan adalah toko kado. Beberapa tempat telah di datanginya. Tapi tak satupun ia menemukan benda kesukaan Bintang yang sangat dinginkannya sejak mereka masih bersahabat.
Ini toko ke 6 yang dimasukinya. Cukup ramai dan terlihat lengkap.
“Mba, lampu tidur bentuk sapi masih ada gak?” Tanya Tiara pada salah satu karyawan di toko tersebut. Belum menjawab, karyawan itu sudah berjalan menuju bagian rak penyimpan lampu tidur. Tiara mengikuti dari belakang.
“Silahkan liat di sini mba.” Ucap karyawan itu dengan senyum teramahnya mungkin lalu meninggalkan Tiara.
Tiara pun berjalan menyusuri raknya. Dilihatnya satu per satu, taka da yang berbentuk sapi.Tiara meneruskan jalannya ke rak sebelah, dan diujung rak ada yang berbentuk sapi. Di dekatinya lampu itu, ternyata satu-satunya.
Tanpa berpikir lama, Tiara mengambil lampu itu dengan penuh rasa bahagia, Tiara lalu menuju tempat pengambilan kertas pembungkus kado dan kertas bermacam bentuk untuk menulis surat.Dan menuju meja kasir.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam. Tiara tak kunjung datang ke rumah.Rasa gelisah dan takut sesekali menyelimuti tubuh Bintang. Kaki nya terasa sedikit lemas untuk berjalan ke teras untuk menunggu kedatangan Tiara.
Perasaan tidak lalu menggerogotinya. Bintang akhirnya menghubungi Tiara dan tersambung.
“Ya?”Tiara menjawab.Bintang merasa sedikit lega karena masih ada hal yang membuatnya risau. Entah hal apa itu.
“Kok belum datang?Kamu dimana sekarang?Aku jemput ya!” Bintang langsung saja bertanya.
“Gak usah, aku udah mau dekat kok.” Tolak Tiara. Suaranya terdengar samar karena suara kendaraan lain.
“Kamu di jalan ya?” Tanya Bintang lagi-lagi berusaha menghapus kekhawatiranku.
“Ia.” Jawabnya singkat.
“Kamu ada yang antar kan?” Tanya Bintang dan malah makin gelisah.
Sambungan ke Tiara seketika putus. Bintang melihat sinyal di laya hpenya, ternyata full. Mungkin ponsel Tiara yang lowbet, pikirnya. Bintang kembali terduduk di depan rumah. 10 menit berlalu, Tiara belum saja muncul. Padahal rumah Bintang tidak terlalu jauh dan susah untuk didatangi.
Bintang mencoba menelfon sekali lagi. Mungkin tadi sinyal. Dan dugaannya benar. Tapi yang mengangkat telfon Tiara suara pria. Membuat Bintang bingung.
“Mas datang saja ke jalan pinang depan Gedung Seni.” Suara itu begitu terburu-buru. Bintang bingung. Di ambilnya kunci motor dan tanpa mengenakan jaket menyusuri malam yang dingin dengan beribu pertanyaan di kepala yang tak diketahuinya jawabannya. Untung saja jalan pinang tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Terlihat jelas dari jauh keramaian orang-orang yang berkumpul seperti mengelilingi sesuatu. Bintang memarkirmotor nya agak jauh dari keramaian itu. Perasaan nya mulai kacau. Fikirannya tertuju pada Tiara. Dadanya terasa sesak.Rasanya ingin air mata nyatertumpah ruah membanjiri pipinya. Namun berusaha ditahannya dan menghilangkan pikiran buruk tentang Tiara.
Bintang lalu makin mendekati kerumunan dengan berjalan agak cepat. Sosok Tiara tak tertangkap olehnya. Dan makin dekat hati Bintang makin  kacau. Rasanya kakinya ngilu untuk lanjut berjalan. Namun Bintang berusaha untuk menahan ngilu itu untuk bisa tau apa yang sedang dikerumuni orang-orang.
Bintang melihat seorang perempuan tua berumur sekitar 40 tahunan sedang menelfon di dekat sebuah mobil yang telah menjadi perhatian orang-orang. Bintang mengenalinya. Dari tingginya, dan segalanya Bintang hafal. Itu mamanya Tiara.
Tebakannya akan Tiara rasanya sudah terjawab. Digesernya orang-orang yang mengerumuni mobil avanza hitam. Air mata Bintang pun jatuh dengan derasnya. Dada nya sesak tak mampu bernafas. Dilihatnya  Tiara yang sudah terbaring dengan lumuran darah.
“Tiaraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….” Teriak Bintang begitu keras hingga tak memperdulikan  orang-orang yang melihatnya.
Dipeluknya Tiara yang masih berlumuran darah. Ia masih sadarkan diri meski hanya dengan membuka kecil kedua matanya. Air mata Bintang memang tak dapat terhenti malah semakin deras. Hatinya rasanya hancur.
Bintang lalu membuka bajunyadan kini telanjang dada. Di lapnya pelan darah yang terus mengalir pelan di kepala Tiara. Jari Tiara bergerak. Mencoba meraih tangan kiri Bintang yang memeluknya. Bintang lalu memegang tangan Tiara yang ingin meraihnya. Air mata itu kembali menetes setelah beberapa detik tertahan. Dadanya yang sesak semakin sesak.
Jari Tiara mengarahkan jari Bintang ke arah jok depan. Bintang lihat apa yang dimaksud Tiara. Sebuah bungkusan berwarna hijau kesukaan Bintang. Sejenak Bintang tersenyum. Itu pergorbanan Tiara untukku, akan ku simpan selamanya, janji Bintang dalam hati.
Sekarang Tiara hanya menatap Bintang lekat. Berusaha kembali tersenyum, namun bibirnya terlalu sulit untuk itu.Bintang kembali menetes. Tak bisa menyembunyikan lagi kesedihannya yang sangat. Di kecupnya kening Tiara yang masih mengeluarkan darah meski hanya sesekali, lalu membisikkan ke telinganya “I LOVE U. Selamanya Ra. Kamu bertahan, ambulance bentar lagi.” Ucap Bintang dan kembali terisak.
Dan ketika Bintang mengangangkat kepalanya menjauh dari telinga Tiara, Bintang merasakan tubuh Tiara yang sangat lemas seakan memasrahkan Bintang memangkunya. Bintang seketika mengecek nadi Tiara di leher, nihil. Tak terasa detakannya.
“Tiaraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.”
***
Tanggal 21 April 1996, ketika Tiara lahir ke dunia saat matahari mulai terbit. Dan hari ini, 20 April 2012, ketika Tiara meninggalkan dunia saat matahari telah menjadi bintang, dimana hari ini Bintang hidup untuk melengkapi silaunya Tiara. Dimana Bintang harusnya bahagia.
“Ra, kamu ingat hari ini kan? Kamu lahir untuk melengkapi terangnya bintang, terangnya aku. Kamu pergi meninggalkan segalanya persis saat kamu lahir untuk melengkapi segalanya.I Love U Ra. Makasih sudah mau jadi pelengkap ku selama hampir 4 bulan ini. Singkat banget. Aku kasi kamu mawar putih ra.Karna aku tau kamu paling suka warna putih, termasuk bunga ini.”
“Aku pulang dulu. Kamu tenang di sana. Love you.”
***
Bintang pulang dengan hati berat. Tak tega meninggalkan kuburan Tiara. Air matanya tiada terhenti mengingat awal pertemuan mereka hingga kebersamaan nya dengan Tiara ketika telah menjadi sepasang kekasih hingga hari kemarin, dimana Bintang harus bahagia bersama Tiara.
Bintang lalu teringat dengan bungkusan yang telah diperjuangkan Tiara untuknya.
Dibukanya pelan kotak berbentuk hati itu. Isinya sebuah lampu tidur bentuk sapi yang diinginkannya sejak masih bersahabat dengan Tiara. Bintang tersenyum membayangkan betapa bahagianya dia ketika Tiara memberikannya ini.
Mata Bintang lalu menangkap sebuah surat di dalamnya.
Dear My Star ::
Terima kasih sudah menjadi temanku selama 3 bulan ini
Terima kasih sudah memilihku untukmu
Terima kasih sudah selalu membuatku bahagia
meski terkadang aku membuatmu jengkel
Aku sama sepertimu
Tak tau menjadi seorang romantis di momen yang romantis
Selamat tambah umur My Dear, U are My Star
I Love You So Much Forever
          Tiara,